KHABAR MUTAWATIR dan AHAD (MH-002)
📌 Yang dimaksud dengan khabar di sini adalah semua yang berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga selain beliau.
🔦 تقْسِيمُ الْخَبَرِ بِاعْتِبَارِ طُرُقِ وُصُولِهِ إِلَيْنَا
🔦 Ditinjau dari jalur periwayatannya, khabar dapat dibagi dua:
🔑 الخَبَرُ الْمُتَوَاتِرُ 🔑 وخَبَرُ الآحَادِ
🔑 Khabar Mutawatir
KHABAR MUTAWATIR
✅ Definisi Khabar Mutawatir
مَا رَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيرٌ تُحِيلُ الْعَادَةُ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَى الْكَذِبِ
Khabar yang diriwayatkan oleh banyak jalur perawi, yang menurut kebiasaan normal mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
📌Maksudnya bahwa khabar mutawatir itu diriwayatkan oleh perawi yang banyak di setiap level periwayatan, di mana menurut pandangan normal bahwa para perawi itu mustahil bersepakat untuk merekayasa khabar tersebut. (Taisir Mushthalah Al-Hadits – Mahmud Ath-Thahan).
📌 Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Shahih Muslim:
مَا نَقَلَهُ عَدَدٌ لَا يُمْكِنُ مُوَاطَأَتُهُمْ عَلَى الكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ وَيَسْتَوِي طَرَفَاهُ وَالْوَسَطُ، وَيُخْبِرُونَ عَنْ حِسِّيٍّ لَا مَظْنُونٍ وَيَحْصُلُ الْعِلْمُ بِقَوْلِهِمْ.
Khabar yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, berasal dari para perawi seperti mereka juga, dimana hal yang sama ini ada di seluruh tingkatan perawi (awal, tengah dan akhir), dan mereka mengabarkan tentang sesuatu yang bersifat indrawi, bukan dugaan, yang menghasilkan derajat ilmu yang meyakinkan. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 1/131).
📌 Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَتِلْكَ الكَثْرَةُ أَحَدُ شُرُوطِ التَّواتُرِ، إِذَا وَرَدَتْ - بِلَا حَصْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ، بَلْ تَكُوْنُ العَادَةُ قَدْ أَحَالَتْ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَى الكَذِبِ، وكَذَا وُقُوعُهُ مِنْهُمْ اتِّفَاقاً مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ- فَلَا مَعْنىَ لِتَعْيِينِ العَدَدِ عَلَى الصَّحِيحِ.
Jumlah yang banyak itu adalah salah satu syarat mutawatir. Jika hal ini terpenuhi maka tidak perlu penentuan bilangan tertentu, tetapi yang menjadi patokan adalah kemustahilan terjadinya kesepakatan mereka untuk berdusta, dimana persamaan riwayat mereka terjadi begitu saja tanpa kesengajaan, jadi tidak ada artinya penentuan bilangan tertentu, inilah pendapat yang shahih. (Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikar fi Mushthalah Ahl Al-Atsar, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, hlm 41-42).
✅ Syarat Mutawatir (شروطه)
📌 Dari penjelasan di atas, maka suatu khabar disebut mutawatir jika memenuhi empat syarat:
1. أنْ يَرْوِيَهُ عَدَدٌ كَثِيرٌ
2. أنْ تُوجَدَ هَذِهِ الكَثْرَةُ فِي جَمِيعِ طَبَقَاتِ السَّنَدِ
3. أنْ تُحِيلَ العَادَةُ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَى الكَذِبِ
4. أنْ يَكُونَ مُسْتَنَدُ خَبَرِهِمُ الْحِسَّ؛ كَقَوْلِهِمْ: سَمِعْنَا، أَوْ رَأَيْنَا، أَوْ لَمَسْنَا، أَوْ ...
1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak, dan tak ada batasan minimal bilangan tertentu dalam hal ini.
2. Jumlah yang banyak ini ada di seluruh tingkatan sanad
3. Adanya kepastian bahwa mereka mustahil sepakat untuk berdusta
4. Sandaran khabar mereka adalah panca indra seperti ucapan mereka: “Kami telah mendengar”, atau “kami telah melihat”, atau “kami telah menyentuh..”
✅ Hukum atau Kedudukan Khabar Mutawatir (حُكْمُهُ)
الْمُتَوَاتِرُ يُفِيدُ الْعِلْمَ الضَّرُورِيَّ، أَيْ الْعِلْمَ الْيَقِيْنِيَّ الَّذِي يَضْطَرُّ الإِنْسَانُ إِلَى التَّصْدِيقِ بِهِ تَصْدِيقًا جَازِمًا، كَمَنْ يُشَاهِدُ الأَمْرَ بِنَفْسِهِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَتَرَدَّدُ فِي تَصْدِيقِهِ، فَكَذَلِكَ الخَبَرُ الْمُتَوَاتِرُ، لِذَلِكَ كَانَ الْمُتَوَاتِرُ كُلُّهُ مَقْبُولًا، وَلَا حَاجَةَ إِلَى البَحْثِ عَنْ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ.
Mutawatir berkedudukan sebagai ILMU DHARURI yaitu pengetahuan meyakinkan yang memaksa seseorang untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti (tentang kepastian bahwa khabar tersebut memang berasal dari sumbernya). Seperti orang yang menyaksikan sesuatu dengan mata kepala sendiri, ia tidak akan ragu dalam membenarkannya, demikian pula khabar mutawatir. Oleh karenanya semua khabar mutawatir diterima tanpa perlu pembahasan tentang keadaan para perawinya.
✅ Pembagian Khabar Mutawatir (أقسامه)
1. Mutawatir Lafzhy (المتواتر اللفظي)
مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ
Mutawatir lafalnya.
📌 Seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia (bersiap) menempati posisinya di neraka.
📌Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat radhiyallahu ‘anhum, diantara mereka adalah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, begitu juga di level setelah sahabat, bahkan di beberapa level perawi jumlahnya lebih dari itu.
2. Mutawatir Ma’nawi (المتواتر المعنوي)
مَا تَوَاتَرَ مَعْنَاهُ دُونَ لَفْظِهِ
Mutawatir makna (kandungan) nya saja, tidak lafalnya.
📌Contoh: tentang hadits mengangkat tangan dalam berdoa, disebutkan oleh sekitar seratus hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana di setiap hadits tersebut disebutkan bahwa beliau mengangkat tangan saat berdoa namun dalam berbagai tema yang berbeda, setiap tema tidak mencapai derajat mutawatir, tetapi terdapat irisan di semua hadits tersebut yaitu mengangkat tangan saat berdoa, sehingga ia menjadi mutawatir ditinjau dari keseluruhan riwayatnya.
✅ Penjelasan tambahan dari Ibnu Taimiyah – rahimahullah - tentang khabar mutawatir dan faktor yang menyebabkan suatu khabar berfungsi sebagai ilmu yang meyakinkan.
التَّوَاتُرُ نَوْعَانِ: تَوَاتُرٌ عَنِ العَامَّةِ؛ وَتَوَاتُرٌ عَنِ الخَاصَّةِ وَهُمْ أَهْلُ عِلْمِ الَحدِيثِ. وَهُوَ أَيْضًا قِسْمَانِ: مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ؛ وَمَا تَوَاتَرَ مَعْنَاهُ. فَأَحَادِيثُ الشَّفَاعَةِ وَالصِّرَاطِ وَالْمِيزَانِ وَالرُّؤْيَةِ وَفَضَائِلِ الصَّحَابَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مُتَوَاتِرٌ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ وَهِيَ مُتَوَاتِرَةُ الْمَعْنَى وَإِنْ لَمْ يَتَوَاتَرْ لَفْظُهُ بِعَيْنِهِ، وكَذَلِكَ مُعْجِزَاتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الخَارِجَةُ عَنِ القُرْآنِ مُتَوَاتِرَةٌ أَيْضًا، وَكَذَلِكَ سُجُودُ السَّهْوِ مُتَوَاتِرٌ أَيْضًا عِنْدَ العُلَمَاءِ، وَكَذَلِكَ القَضَاءُ بِالشُّفْعَةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ.
وَعُلَمَاءُ الحَدِيثِ يَتَوَاتَرُ عِنْدَهُمْ مَا لَا يَتَوَاتَرُ عِنْدَ غَيْرِهِمْ؛ لِكَوْنِهْمْ سَمِعُوا مَا لَمْ يَسْمَعْ غَيْرُهُمْ وَعَلِمُوا مِنْ أَحْوَالِ النَّبِيِّ صلّى اللهُ عليه وسلَّمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ غَيْرُهُمْ.
وَالتَّوَاتُرُ لَا يُشْتَرَطُ لَهُ عَدَدٌ مُعَيَّنٌ؛ بَلْ مِنَ العُلَمَاءِ مَنِ ادَّعَى أَنَّ لَهُ عَدَدًا يَحْصُلُ لَهُ بِهِ العِلْمُ مِنْ كُلِّ مَا أَخْبَرَ بِهِ كُلُّ مُخْبِرٍ وَنَفَوْا ذَلِكَ عَنِ الأَرْبَعَةِ وَتَوَقَّفُوا فِيْمَا زَادَ عَلَيْهَا وَهَذَا غَلَطٌ، فَالعِلْمُ يَحْصُلُ تَارَةً بِالْكَثْرَةِ؛ وَتَارَةً بِصِفَاتِ الْمُخْبِرِينَ؛ وَتَارَةً بِقَرَائِنَ تَقْتَرِنُ بِأَخْبَارِهِمْ وَبِأُمُورٍ أُخَرَ. وَأَيْضًا فَالْخَبَرُ الَّذِي رَوَاهُ الوَاحِدُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالاِثْنَانِ: إِذَا تَلَقَّتْهُ الأُمَّةُ بِالْقَبُولِ وَالتَّصْدِيقِ أَفَادَ العِلْمَ عِنْدَ جَمَاهِيرِ العُلَمَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُسَمِّي هَذَا: الْمُسْتَفِيضَ. وَالعِلْمُ هُنَا حَصَلَ بِإِجْمَاعِ العُلَمَاءِ عَلَى صِحَّتِهِ؛ فَإِنَّ الإِجْمَاعَ لَا يَكُونُ عَلَى خَطَإٍ؛ وَلِهَذَا كَانَ أَكْثَرُ مُتُونِ الصَّحِيْحَيْنِ مِمَّا يُعْلَمُ صِحَّتُهُ عِنْدَ عُلَمَاءِ الطَّوَائِفِ: مِنَ الحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالحَنْبَلِيَّةِ وَالأَشْعَرِيَّةِ وَإِنَّمَا خَالَفَ فِي ذَلِكَ فَرْيقٌ مِنْ أَهْلِ الْكَلَامِ..
Mutawatir itu ada dua: mutawatir menurut pengertian umum, dan mutawatir khusus yaitu menurut para ahli ilmu hadits. Mutawatir khusus ini terbagi dua: yaitu mutawatir lafalnya dan mutawatir maknanya. Hadits tentang syafaat, shirath, mizan (timbangan amal), ru’yah (melihat Allah di surga), keutamaan para sahabat adalah mutawatir menurut para ulama, yaitu mutawatir maknanya meskipun lafalnya tidak mutawatir. Mu’jizat Rasulullah di luar Al-Quran juga mutawatir, sujud sahwi juga mutawatir menurut para ulama, termasuk putusan perkara dengan syuf’ah adalah mutawatir.
Ada hadits yang mutawatir menurut ulama Hadits tapi tidak mutawatir menurut pihak lain disebabkan ulama Hadits telah mendengar sesuatu yang tidak didengar pihak lain, dan mereka telah mengetahui berbagai keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diketahui pihak lain.
Hadits mutawatir tidak mensyaratkan bilangan tertentu. Namun ada ulama yang menganggap bahwa mutawatir memiliki bilangan tertentu yang menghasilkan ilmu (informasi meyakinkan) dari setiap khabar yang diriwayatkan oleh perawi. Mereka menolak angka empat, dan tawaquf (tidak bersikap) di angka lebih dari itu. Ini adalah kekeliruan. Karena ilmu itu didapat terkadang oleh BANYAKNYA JALUR, terkadang oleh SIFAT (KEADAAN) PARA PEMBAWA KHABAR, terkadang oleh QARINAH (indikator/tanda-tanda) TERKAIT KHABAR YANG MEREKA BAWA, dan oleh hal-hal lain. Begitu pula khabar yang diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan dua orang sahabat, JIKA UMMAT ISLAM TELAH MERESPONNYA DENGAN SIKAP MENERIMA DAN MEMBENARKAN SEPENUHNYA, maka ia berfungsi sebagai ilmu yang meyakinkan menurut mayoritas ulama, dan sebagian mereka menamakannya dengan istilah “MUSTAFIDH” (المستفيض). Dan ilmu yang meyakinkan ini diraih melalui ijma’ (kesepakatan) ulama tentang keshahihannya, karena ijma’ tidak akan terjadi (di internal kaum muslimin) dalam kesalahan. Oleh karena itu mayoritas matan hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim termasuk kategori yang diyakini keshahihannya oleh para ulama berbagai kelompok, baik madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, maupun Asy’ari. Hanya sebagian tokoh ilmu kalam saja yang berbeda pendapat dalam hal ini.. (Majmu’ Al-Fatawa, 18/69).
📌Beberapa contoh hadits mutawatir yang lain adalah hadits tentang haudh (telaga), mengusap sepatu (saat wudhu), hadits tentang Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa alaihissalam, hadits tentang Syafaat..
✅ Beberapa buku hadits tentang khabar mutawatir:
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah karya Jalaluddin As-Suyuthi.
2. Qathf Al-Azhar karya As-Suyuthi.
3. Al-La-ali Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4. Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
KHABAR AHAD (خَبَرُ الآحَادِ)
✅ Definisi Khabar Ahad (تَعْرِيفُ خَبَرِ الآحَادِ)
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ شُرُوطَ الْمُتَوَاتِرِ
Adalah khabar yang tidak memenuhi syarat mutawatir.
✅ Hukum atau Kedudukan Khabar Ahad (حُكْمُهُ)
📌 Mayoritas ulama berpendapat bahwa khabar ahad, jika termasuk kategori maqbul atau diterima oleh para ulama hadits maka ia wajib diamalkan atau dijadikan sebagai dalil, baik dalam masalah aqidah maupun dalam masalah fiqih.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata:
وَفِيهَا؛ أَي فِي الآحَادِ: المَقْبُولُ وَهُوَ: مَا يَجِبُ العَمَلُ بِهِ عِنْدَ الجُمْهورِ. وَفِيهَا المَرْدُودُ، وهُوَ الَّذِي لَمْ يَتَرَجَّحْ صِدْقُ المُخْبِرِ بِهِ؛ لِتَوَقُّفِ الاِسْتِدْلَالِ بِهَا عَلَى البَحْثِ عَنْ أَحْوَالِ رُوَاتِهَا
Diantara khabar ahad ada yang maqbul (diterima) yaitu yang wajib diamalkan menurut mayoritas ulama, dan ada juga yang mardud (ditolak) yaitu khabar yang informasi tentang kejujuran pembawanya tidak cukup kuat. Sebab untuk menjadikan khabar ahad sebagai dalil harus dilakukan kajian terhadap keadaan para perawinya. (Nuzhah An-Nazhar, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, hlm 51).
Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim:
قَالَ مُسْلِمٌ: خَبَرُ الوَاحِدِ الثِّقَةِ عَنِ الوَاحِدِ حُجَّةٌ يَلْزَمُ بِهِ العَمَلُ. هَذَا الَّذِي قَالَهُ هُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْمُسْلِمِينَ مِنَ السَّلَفِ وَالْفُقَهَاءِ وَالْمُحَدِّثِينَ وَمَذْهَبِ الأُصُولِيِّينَ
Muslim berkata: “Khabar seorang yang tsiqah (terpercaya) dari seorang (yang terpercaya) adalah hujjah yang wajib diamalkan.” Apa yang dikatakan (oleh Muslim) ini adalah merupakan madzhab mayoritas kaum muslimin dari ulama salaf, ulama fiqih, ulama hadits, dan madzhab ulama ushul fiqih. (Ikmal Al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, Abu Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshubi As-Sabti, 1/168).
✅ Pembagian Khabar Ahad (أقْسَامُ الآحَادِ)
Khabar Ahad dapat kita bagi tiga:
1. Masyhur (المشهور)
2. ‘Aziz (العزيز)
3. Gharib (الغريب)
Berikut ini penjelasan ketiganya disertai contoh dari hadits shahih.
1. Masyhur (المشهور)
الْمَشْهُورُ: مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَأَكْثَرُ فِي كُلِّ طَبَقَةٍ مَا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
Masyhur adalah khabar atau hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih di semua tingkatan sanadnya tetapi tidak sampai derajat mutawatir.
📌 Contoh masyhur: hadits berikut ini:
«المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ» (رواه أحمد والبخاري ومسلم والترمذي وأبو داود والنسائي)
Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah para Imam: Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasai.
Di setiap tingkatan sanad hadits tersebut, terdapat tiga orang perawi atau lebih.
Di level para sahabat Nabi, misalnya, diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Amru bin Ash, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum. (Nail Al-Authar, Asy-Syaukani, 7/233).
Diantara sanad Al-Imam Al-Bukhari dalam meriwayatkan hadits ini adalah dari Adam bin Abi Iyas, dari Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abdullah bin Abi As-Safar dan juga dari Ismail bin Abi Khalid, keduanya meriwayatkan dari ‘Amir Asy-Sya’bi, dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat: Shahih Al-Bukhari, hadits no 10).
Dari Asy-Sya’bi sendiri lebih dari tiga perawi yang meriwayatkan hadits ini selain Ismail bin Abi Khalid dan Abdullah bin Abi As-Safar, diantaranya: Bayan bin Bisyr, Dawud bin Abi Hind dan Abdul Aziz bin Shuhaib rahimahumullah. (lihat: Hilyah Al-Auliya, Al-Ashbahani, 4/333)
Belum lagi sanad Al-Imam Muslim dan para imam lainnya.
📌 Catatan:
Sebagian ulama ada yang menamakan hadits masyhur dengan istilah mustafidh (المُسْتَفِيضُ). Ada pula yang membedakan keduanya, dimana mustafidh menurut mereka haruslah sama jumlah perawinya di pangkal dan ujung tingkatan sanadnya. Ada juga yang berpendapat lain.
Ada pula penggunaan istilah masyhur dalam arti terkenal. Yaitu khabar atau hadits yang terkenal di kalangan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Istilah masyhur yang ini tidak punya definisi dan syarat tertentu. Oleh karena itu, diantaranya ada yang memiliki lebih dari satu sanad, ada yang hanya satu, bahkan ada yang tidak ada sanadnya sama sekali.
📌 Hukum Khabar Masyhur (حكم المشهور)
Khabar masyhur menurut istilah ulama Hadits maupun masyhur dalam arti terkenal di kalangan masyarakat adalah bagian dari khabar ahad yang tidak dapat dinilai shahih atau tidak shahih sebelum dilakukan penelitian terhadapnya. Begitu pula dengan khabar ‘Aziz dan Gharib. Namun jika khabar masyhur ternyata adalah hadits shahih, maka derajat keshahihannya semakin tinggi dengan banyaknya perawi di setiap level sanadnya.
2. ‘Aziz (العزيز)
الْعَزِيزُ: أَنْ لَا يَقِلَّ رُوَاتُهُ عَنِ اثْنَيْنِ فِي جَمِيعِ طَبَقَاتِ السَّنَدِ
Khabar ‘Aziz adalah yang memiliki dua orang perawi pada minimal satu tingkatan sanadnya dan tidak boleh kurang dari dua di semua level sanadnya.
📌 Contoh khabar ‘Aziz adalah hadits berikut ini:
((لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ)).
Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sehingga aku menjadi lebih ia cintai dari pada orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan Al-Imam Muslim meriwayatkannya dari Anas bin Malik. Jadi ada dua orang perawi di level sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Anas bin Malik ada dua perawi di level tabi’in yang meriwayatkannya, yaitu Qatadah bin Da’amah As-Sadusi dan Abdul ‘Aziz bin Shuhaib Al-Bannani.
Kemudian dari Qatadah diriwayatkan oleh Syu’bah bin Al-Hajjaj dan Said bin Abi Urubah. Sedangkan dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh Isma’il bin ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits bin Abdus Shamad Al-‘Anbari.
Setelah itu hadits ini diriwayatkan oleh lebih banyak lagi perawi. (Lihat: Nuzhah An-Nazhar, hlm 54).
📌 Catatan:
Hadits ini juga dapat menjadi contoh hadits muttafaq ‘alaih (lihat definisi muttafaq ‘alaih di MH-001), karena Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkannya dengan matan yang dapat dikatakan sama, dan dengan sanad yang sama-sama bertemu pada seorang tabi’in yakni Qatadah, dari seorang sahabat Nabi, yakni Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Lihat: Al-Lu-lu wa Al-Marjan Fimattafaqa ‘alaihi Asy-Syaikhan, Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1/9, hadits No 27).
3. Gharib (الغريب)
Ibnu Hajar mendefinisikan Gharib:
مَا يَتَفَرَّدُ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِي أيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
Khabar yang di dalam sanadnya terdapat perawi tunggal, di level mana pun perawi tunggal itu adanya. (Nuzhah An-Nazhar, hlm 54).
📌 Contoh Gharib
Hadits Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu tentang niat:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat, dan untuk setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang didapatkannya atau wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.
Diantara yang meriwayatkan hadits gharib namun shahih ini adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka.
Hadits ini termasuk gharib karena di tingkat sahabat Nabi, yang meriwayatkannya hanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dari sini saja sudah memenuhi definisi hadits gharib. Apalagi ternyata yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqamah bin Waqqash, dan yang meriwayatkan dari ‘Alqamah hanya Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim hanya Yahya bin Sa’id Al-Anshari, semuanya adalah generasi tabi’in. Kemudian yang meriwayatkankan dari Yahya ada sejumlah perawi. (Nuzhah An-Nazhar, hlm 53).
📌 Gharib dibagi menjadi dua: gharib mutlak (الغريب المطلق) dan gharib nisbi (الغريب النسبي)
✏️ Gharib mutlak adalah gharib yang perawi tunggalnya ada di puncak atau pokok sanad yaitu di level sahabat untuk hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti hadits Umar di atas.
✏️ Sedangkan gharib nisbi adalah gharib yang perawi tunggalnya bukan di pokok sanad, tetapi di tengah sanad. Contohnya adalah:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ (أخرجه الشيخان)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah dalam keadaan di atas kepalanya ada penutup. (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Dalam riwayat ini, tafarrud (kesendirian)nya terjadi pada Al-Imam Malik yang sendiri meriwayatkannya dari Az-Zuhri.
Referensi Utama: Taysir Mushthalah Al-Hadits – Dr. Mahmud Ath-Thahan
Posting Komentar untuk "KHABAR MUTAWATIR dan AHAD (MH-002)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.