KHABAR ATAU HADITS SHAHIH (MH-003)
📚 يَنْقَسِمُ خَبَرُ الآحَادِ بِاعْتِبَارِ القَبُولِ وَالرَّدِّ إِلَى: اَلْخَبَرِ الْمَقْبُولِ وَالْخَبَرِ الْمَرْدُودِ.
وَالْمَقْبُولُ بِاعْتِبَارِ دَرَجَتِهِ قِسْمَانِ رَئِيسِيَّانِ: صَحِيْحٌ وَحَسَنٌ
وَبِاعْتِبَارِ الْعَمَلِ بِهِ قِسْمَانِ كَذَلِكَ: مَعْمُولٌ بِهِ وَغَيْرُ مَعْمُولٍ بِهِ
✅ Ditinjau dari penerimaan dan penolakan, khabar ahad dapat dibagi menjadi dua: khabar maqbul (diterima), dan khabar mardud (ditolak).
✅ Khabar maqbul sendiri dapat dibagi lagi menurut dua tinjauan:
📌 Pertama, dari sisi derajat kekuatannya, dibagi menjadi dua bagian utama: shahih dan hasan.
📌 Kedua, dari sisi pengamalannya, dibagi dua juga: ma’mul bih (dapat diamalkan) yaitu nasikh, muhkam dan mukhtaliful hadits; dan ghairu ma’mul bih (tak dapat diamalkan) yaitu hadits mansukh.
وَالْخَبَرُ الْمَرْدُودُ قَسَمَهُ العُلَمَاءُ إِلَى أَقْسَامٍ كَثِيرَةٍ، وَأَطْلَقُوا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ تِلْكَ الأَقْسَامِ أَسْمَاءً خَاصَّةً بِهَا، وَمِنْهَا مَا لَمْ يُطْلِقُوا عَلَيْهَا اسْمًا خَاصًّا بِهَا، بَلْ سَمَّوْهَا بِاسْمٍ عَامٍّ، هُوَ "الضَّعِيفُ".
✅ Sedangkan khabar mardud para ulama membaginya menjadi banyak jenisnya dengan masing-masing diberi nama khusus. Ada juga yang tak diberi nama atau istilah khusus, tetapi hanya diberi istilah umum saja yaitu “dhaif”.
Khabar Maqbul dari Sisi Derajat Kekuatannya
📕 KHABAR SHAHIH
📌 Definisinya
الخَبَرُ الصَّحِيْحُ: مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَّابِطِ، عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوذٍ، وَلَا عِلَّةٍ قَادِحَةٍ
Khabar shahih adalah khabar yang sanadnya bersambung (sampai ke sumber khabar tersebut) melalui riwayat seorang yang memiliki ‘adalah dan dhabth dari orang yang sama dengannya sampai ke akhir sanad, tanpa ada unsur syadz dan illah yang merusak (keshahihannya).
قَالَ السُّيُوطِيُّ فِي أَلْفِيَتِهِ:
حَدُّ الصَّحِيحِ مُسْنَدٌ بِوَصْلِه
بِنَقْلِ عَدْلٍ ضَابِطٍ عَنْ مِثْلِه
وَلَمْ يَكُن شَاذًا وَلاَ مُعَلَّلاَ
✅ As-Suyuthi rahimahullah berkata dalam Alfiahnya:
Definisi shahih ialah yang tersambung sanadnya,
Dengan riwayat pemilik “’adalah” dan “dhabth” hingga akhirnya,
Tanpa ada “syadz” dan “illah” perusak padanya.
📌 Penjelasan Definisi
Dari definisi di atas, sebuah khabar dikatakan shahih jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1️⃣ Sanad yang Bersambung
اِتِّصَالُ السَّنَدِ: أَنْ يَأْخُذَ كُلٌّ مِنَ الرُّوَاةِ الحَدِيثَ عَنْ شَيْخِهِ بِطَرِيقَةٍ مِنْ طُرُقِ التَّحَمُّلِ الْمُعْتَبَرَةِ
Ittishal Sanad (Sanad yang Bersambung)
Maksudnya bahwa semua perawi (dari awal hingga akhir sanad) menerima (التَّحَمُّل) khabar atau hadits dari syaikh/gurunya dengan cara yang dibenarkan atau diakui oleh ulama hadits.
Dan ini tercemin dari pilihan صِيَغُ الأَدَاءِ (ungkapan periwayatan) sang perawi, misalnya dengan ungkapan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّثَنَا (telah berkata meriwayatkan kepada kami) atau ungkapan lainnya yang akan dijelaskan dalam pembahasan khusus insya Allah.
2️⃣ 'Adalah Semua Perawi
عَدَالَةُ الرُّوَاةِ: أَيْ أَنَّ كُلَّ رَاوٍ مِنْ رُوَاتِهِ اتَّصَفَ بِكَوْنِهِ مُسْلِمًا، بَالِغًا، عَاقِلاً، غَيْرَ فَاسِقٍ، وَغَيْرَ مَخْرُومِ الْمُرُوءَةِ
Sifat ‘adalah semua perawi:
yaitu semua perawinya muslim, baligh, berakal sehat, tidak fasik, dan tidak rusak muru-ahnya (orang Indonesia menyebutnya maruah).
✅ Tidak fasik maksudnya ialah orang yang menjalankan kewajiban dan menjauhi yang haram, tidak terang-terang melakukan dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil.
✅ Dengan kata lain, tidak fasik ialah orang yang kebaikannya lebih dominan dibandingkan keburukannya.
قَالَ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: لَوْ كَانَ العَدْلُ مَنْ لَمْ يُذْنِبْ لَمْ نَجِدْ عَدْلاً، وَلَوْ كَانَ كُلُّ ذَنْبٍ لَا يَمْنَعُ مِنَ العَدَالَةِ لَمْ نَجِدْ مَجْرُوحاً، وَلَكِنْ مَنْ تَرَكَ الكَبَائِرَ وَكَانَتْ مَحَاسِنُهُ أَكْثَرَ مِنْ مَسَاوِيهِ فَهُوَ عَدْلٌ. (الفتح الرباني من فتاوى الإمام الشوكاني)
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Andai ‘adl (orang yang memiliki ‘adalah) ialah yang tidak berdosa, maka tidak akan ada ‘adl itu, dan andai semua dosa tak menjadi penghalang ‘adalah maka tak akan ada majruh (orang yang diberi catatan negatif/bukan ‘adl). Akan tetapi siapa yang meninggalkan dosa besar dan kebaikannya lebih banyak dari keburukannya maka dialah ‘adl”. (Al-Fath Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam Asy-Syaukani, 9/4531).
وَالْمُرُوءَةُ لِلشَّخْصِ، وَأَحْسَنُ مَا قِيلَ فِي تَفْسِيرِهَا أَنَّهَا تَخَلُّقُ الْمَرْءِ بِخُلُقِ أَمْثَالِهِ مِنْ أَبْنَاءِ عَصْرِهِ مِمَّنْ يُرَاعِي مَنَاهِجَ الشَّرْعِ وَآدَابَهُ فِي زَمَانِهِ وَمَكَانِهِ
✅ Maruah bagi seseorang, penjelasan yang terbaik ialah perangai seseorang sesuai dengan perilaku rekan sejawatnya yang menjaga manhaj dan adab syariat pada zaman dan tempat di mana ia hidup. (Mughni Al-Muhtaj, 6/351).
✅ Maruah juga dapat diartikan melakukan perbuatan mubah yang memperindah diri, dan meninggalkan perbuatan mubah yang dapat merusak citra diri.
✅ Atau meninggalkan hal-hal yang tercela menurut ‘urf (kearifan lokal), meski menurut syariat tidak apa-apa.
📌 Jelas bahwa dalam masalah maruah ini, ‘urf atau kearifan lokal menjadi standar penilaian selama ia tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga cita rasa serta pertimbangan orang-orang shalih di lingkungan setempatlah yang dijadikan standar umumnya, bukan orang-orang yang tak mengindahkan syariat Islam.
أَمْثِلَةٌ لِخَوَارِمِ الْمُرُوءَةِ عِنْدَ العُلَمَاءِ
✅ BEBERAPA CONTOH PERBUATAN YANG MERUSAK MARUAH MENURUT ULAMA
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan di dalam Fath Al-Bari:
مَنْ يَتَعَاطَى خَوَارِمَ الْمُرُوءَةِ كَكَثْرَةِ الْمِزَاحِ وَاللَّهْوِ وَفُحْشِ الْقَوْلِ وَالْجُلُوسِ فِي الْأَسْوَاقِ لِرُؤْيَةِ مَنْ يَمُرُّ مِنَ النِّسَاءِ وَنَحْو ذَلِك
Orang yang melakoni hal-hal yang merusak maruah seperti terlalu banyak bercanda dan main-main, ucapan yang vulgar, duduk-duduk di pasar untuk melihat-lihat para wanita lewat dan lain sebagainya. (Fath Al-Bari, 11/40).
📌 Catatan:
Para wanita saat itu jelas menutup aurat mereka. Adapun melihat-lihat para wanita yang tidak menutup aurat mereka, jelas merupakan perbuatan haram dan bukan sekadar merusak maruah.
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyebutkan salah satu sunnah ketika makan adalah mengambil yang dekat dengan tangan kita:
اَلْأَكْلُ مِمَّايَلِيهِ لِأَنَّ أَكْلَهُ مِنْ مَوْضِعِ يَدِ صَاحِبِهِ سُوءُ عِشْرَةٍ وَتَرْكُ مُرُوءَةٍ
Termasuk sunnah yaitu makan makanan yang dekat dengannya, sebab mengambil makanan yang berada lebih dekat dengan tangan kawannya adalah sikap pergaulan yang buruk dan mengabaikan maruah. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 13/193).
✅ Motivator utama seorang muslim memelihara maruah adalah rasa malu, terutama malu kepada Allah.
✅ TUJUAN DISYARATKANNYA ‘ADALAH DALAM KHABAR MAQBUL
أَنَّ اشْتِرَاطَ الْمُحَدِّثِينَ لِلْعَدَالَةِ فِي الرَّاوِي إِنَّمَا هُوَ لِلْاِطْمِئْنَانِ إِلَى أَنَّ الرَّاوِي فِيهِ مِنَ التَّقْوَى وَالوَرَعِ مَا يَمْنَعُهُ مِنْ تَعَمُّدِ الكَذِبِ فِي رِوَايَاتِهِ .
Para ulama hadits mensyaratkan ‘adalah pada semua perawi semata-mata agar ada ketentraman (hati) bahwa mereka memiliki ketakwaan (tidak fasik) dan sifat wara’ (menjaga maruah) yang menghalangi mereka dari kesengajaan berdusta dalam meriwayatkan khabar/hadits.
Ash-Shan’ani menyebutkan dalam kitabnya Tsamarat An-Nazhar:
عُمْدَةُ قَبُولِ الرِّوَايَةِ وَعِلَّتِهَا حُصُولُ الظَّنِّ بِصِدْقِ الرَّاوِي وَعَدَمِ تَلَوُّثِهِ بِالْكَذِبِ
Diterima atau tidaknya sebuah riwayat berdasar pada ada atau tidaknya zhan (dugaan kuat) tentang kejujuran perawi dan tentang tidak terkotorinya ia dengan sifat dusta. (Tsamarat An-Nazhar fi ‘Ilm Al-Atsar, hlm 91).
ضَبْطُ الرُّوَاةِ
3️⃣ Dhabth (Pemeliharaan Khabar) oleh Para Perawi
✅ Al-Jurjani mendefinisikan dhabth (الضَّبْط) dengan:
اِسْتِمَاعُ الكَلَامِ كَمَّا يَحِقُّ سَمَاعُهُ، ثُمَّ فَهْمُ مَعْنَاهُ الَّذِي أُرِيْدَ بِهِ، ثُمَّ حِفْظُهُ بِبَذْل مَجْهُودِهِ، وَالثَّبَات عَلَيْهِ بِمُذَاكَرَتِهِ إِلَى حِينِ أَدَائِهِ إِلَى غَيْرِهِ.
Menyimak perkataan dengan semestinya, memahami maksudnya dengan baik, kemudian menjaganya dengan pengerahan daya upaya dan terus konsisten menjaganya dengan mengulang-ulang (mengingat-ingat)nya sampai saat ia meriwayatkannya lagi kepada orang lain. (At-Ta’rifat, hlm 137).
اَلضَّبْطُ قِسْمَانِ: ضَبْطُ صَدْرٍ، وَضَبْطُ كِتَابٍ
قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: هُمَا ثَبْتَانِ ثَبْتُ حِفْظٍ وَثَبْتُ كِتَابٍ
📕 Dhabth itu ada dua:
📌 dhabth shadr (pemeliharaan dengan hafalan) dan
📌 dhabth kitab (pemeliharaan dengan catatan).
Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata: “Keduanya adalah kekokohan, kokoh hafalan dan kokoh catatan”. (Tahdzib At-Tahdzib, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 5/260).
✅ Menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah dhabth shadr adalah:
أَنْ يُثْبِتَ مَا سَمِعَهُ، بِحَيْثُ يَتَمَكَّنُ مِنَ اسْتِحْضَارِهِ مَتَى شَاءَ
Pengokohan perawi atas hafalan khabar/hadits yang telah ia terima sehingga ia mantap dalam menyebutkannya kapan pun ia kehendaki. (Nuzhah An-Nazhar, hlm 69).
✅ Sedangkan dhabth kitab adalah:
صِيانَتُهُ لَدَيْهِ مُنْذُ سَمِعَ فِيهِ وَصَحَّحَهُ إِلَى أَنْ يُؤَدِّيَ مِنْهُ
Penjagaan perawi atas catatannya sejak ia menerima khabar/hadits, memastikan akurasinya, sampai ia meriwayatkannya. (Nuzhah An-nazhar, hlm 69).
Semua perawi hadits shahih memiliki dhabth yang tinggi sehingga dalam definisi hadits shahih kadang ditambahkan ungkapan التَّام (sempurna) pada kata dhabth, seperti pernyataan Ibnu Hajar:
وَقُيِّدَ بِالتَّامِّ إِشَارَةً إِلَى الرُّتْبَةِ العُلْيَا فِي ذَلِكَ
Ditambahkan keterangan kata “sempurna” sebagai isyarat level yang tinggi dalam dhabth-nya. (Nuzhah An-nazhar, hlm 69).
✅ Jika ‘adalah perawi menunjukkan kredibilitas moralnya sehingga ia dinilai jujur, maka dhabth perawi disyaratkan untuk menunjukkan kapabilitas perawi sebagai orang yang terjaga hafalan dan atau catatan hadits yang ia riwayatkan sehingga ia dapat terhindar dari kekeliruan tatkala meriwayatkannya.
اِنْتِفَاءُ الشُّذُوذِ
4️⃣ Haditsnya Tidak Syadz
✅ Maksud dari syadz ialah:
مُخَالَفَةُ الْمَقْبُولِ لِمَنْ هُوَ أوْلَى مِنْهُ
Pertentangan riwayat seorang perawi yang maqbul (diterima riwayatnya) dengan riwayat perawi lain yang lebih baik darinya.
قَالَ الحَافِظُ ابْنُ حَجَر: يُخْتَارُ فِي تَفْسِيرِ الشَّاذِّ أَنَّهُ الَّذِي يُخَالِفُ رِوَايَةَ مَنْ هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
Yang dipilih dalam penjelasan tentang syadz ialah perawi yang (riwayatnya) bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih baik darinya. (An-Nukat, 2/653-654).
قَالَ الإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: لَيْسَ الشَّاذُّ مِنَ الحَدِيثِ أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَةُ مَا لَا يَرْوِي غَيْرُهُ، إِنَّمَا الشَّاذُّ: أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَةُ حَدِيثاً يُخَالِفُ مَا رَوَى النَّاسُ
✅ Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:
Syadz dalam hadits itu bukan riwayat seorang perawi tsiqah sendirian, tidak diriwayatkan oleh yang lain, tetapi syadz itu ialah perawi tsiqah meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan riwayat orang-orang (yang tsiqah juga). (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits, hlm 119, Al-Baihaqi dalam Ma’ rifah As-Sunan wa Al-Atsar, 1/81-82).
✅ Oleh karena itu ada juga yang mendefinisikan syadz dengan definisi:
مُخَالَفَةُ الثِّقَةِ فِي رِوَايَتِهِ لِمَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
وَالأَقْوَى مِنْهُ قَدْ يَكُونُ ثِقَةً آخَرَ، وَقَدْ يَكُونُ عَدَداً حَاصِلاً بِمَجْمُوعِهِمْ رَجْحَانُ إِتْقَانِهِمْ عَلَى إِتْقَانِهِ.
Pertentangan riwayat seorang perawi tsiqah (yang tepercaya) dengan perawi lain yang lebih kuat darinya.
Yang lebih kuat ini bisa jadi seorang perawi tsiqah juga (namun lebih tinggi derajat ketsiqahannya), atau bisa jadi sejumlah perawi yang dengan bergabungnya mereka menghasilkan ketepatan dan ketelitian yang lebih baik dari yang ada pada perawi yang sendiri tersebut. (Tahrir Ulum Al-Hadits, 2/1018).
اِنْتِفَاءُ العِلَّةِ القَادِحَةِ
5️⃣ Tak mengandung illah yang merusak
اَلْعِلَّةُ فِي اصْطِلَاحِ الْمُحَدِّثِينَ: عِبَارَةٌ عَنْ أَسْبَابٍ خَفِيَّةٍ غَامِضَةٍ قَادِحَةٍ فِي صِحَّةِ الْحَدِيثِ
✅ Illah dalam istilah ulama Hadits ialah sebab tersembunyi dan samar yang merusak keshahihan hadits. (Al-‘Ilal wa Ma’rifah Ar-Rijal, 1/32).
✅ Sedangkan hadits yang mengandung illah tersebut disebut dengan mu’allal atau ma’lul.
✅ Ibnu Rajab menjelaskan definisi mu’allal:
وَالْمُعَلَّلُ خَبَرٌ ظَاهِرُهُ السَّلَامَةُ اُطُّلِعَ فِيهِ بَعْدَ التَّفْتِيشِ عَلَى قَادِحٍ
Dan mu’allal adalah khabar yang lahiriahnya selamat (dari cacat) namun setelah diselidiki dengan seksama terungkap ada cacatnya. (Syarh ‘Ilal At-tirmidzi, 1/15).
Dari definisi illah di atas, berarti hadits yang sanadnya terputus tidak disebut mu’allal, karena cacatnya jelas, tidak tersembunyi. Juga hadits yang perawinya ada yang tak diketahui, atau yang perawinya lemah dhabthnya, bukanlah mu’allal karena cacatnya jelas.
Jadi illah yang dimaksud dalam pembahasan ini tidak terkait dengan cacat yang tampak jelas pada ‘adalah maupun dhabth perawi, tetapi illah ini tersembunyi dan baru diketahui setelah dilakukan penelitian mendalam oleh para ulama hadits yang mumpuni baik pada sanad atau matannya. Dengan kata lain, sebelum diteliti dengan seksama oleh pakarnya, khabar ma'lul ini tampak shahih karena illahnya tersembunyi.
Insya Allah hal ini akan dibahas tersendiri pada pembahasan tentang hadits mu’allal atau ma’lul.
📌 'Ittishal sanad, 'adalah & dhabth perawi sebagai penyaring hadits shahih di level standar teknis secara umum.
📌 Intifa syudzuz & illah qadihah sebagai antisipasi kesalahan karena faktor non teknis "human error" sebelum benar-benar dinyatakan sebagai khabar shahih.
📕 Contoh Khabar/Hadits Shahih
📒 ما رَوَاهُ الإِمَامُ البُخَارِيُّ - رَحِمَهُ اللهُ - فِي صَحِيحِهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِر قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ".
📒 Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari – rahimahullah – dalam Shahihnya, beliau berkata: Telah berkata kepada kami Musaddad: telah berkata kepada kami Mu’tamir, ia berkata: Aku telah mendengar ayahku berkata: Aku telah mendengar Anas bin Malik – radhiyallahu ‘anhu – berkata: bahwa Nabi shallahallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kelemahan, malas, sifat penakut, usia terlalu tua (yang tak berdaya), dan aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan kematian, dan aku berlindung kepadaMu dari azab kubur.
📎 Penjelasan:
✅ Dari Anas bin Malik RA sampai dengan Al-Bukhari dinamakan sanad atau rantai perawi hadits.
✅ Sabda Rasulullah SAW yang menandai berakhirnya sanad dinamakan matan hadits.
(Lihat makna istilah-istilah ini di materi MH-001).
📌 Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber matan hadits, di mana setiap perawi menyatakan dengan tegas bahwa ia menerima langsung dari perawi sebelumnya (syaikh-nya) - tanpa perantara yang tidak jelas - sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian syarat pertama hadits shahih terpenuhi.
📌 Semua perawinya adalah para perawi tepercaya dan akurat karena terpenuhi sifat ‘adalah dan dhabth mereka.
Berikut ini kami kutipkan salah satu ta’dil (التَّعْدِيلُ/pernyataan catatan positif) dari sekian banyak ta’dil para ulama Hadits, yakni ta’dil dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah tentang ‘adalah sekaligus dhabth masing-masing perawi, kecuali pada sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
1️⃣ Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: sahabat Nabi Muhammad SAW pastilah orang yang ‘adl, karena seluruh sahabat adalah ‘uduul (عُدُول) (jamak dari ‘adl (عَدْل)) berdasarkan pernyataan Allah dan RasulNya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW.
2️⃣ Sulaiman bin Tharkhan At-Taimi, ayah Mu’tamir ialah orang yang ثِقَةٌ (tsiqah/tepercaya) عَابِدٌ (‘abid/ahli ibadah). (Taqrib At-Tahdzib hlm 409).
3️⃣ Mu’tamir bin Sulaiman bin Tharkhan At-Taimi ialah orang yang ثِقَةٌ (tsiqah). (Taqrib At-Tahdzib hlm 958).
4️⃣ Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurad Al-Asadi ialah orang yang ثِقَةٌ (tsiqah) حَافِظٌ (hafizh/menjaga kuat dhabhth-nya). (Taqrib At-Tahdzib hlm 935).
5️⃣ Al-Bukhari: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ja’fi Abu ‘Abdillah ialah جَبَلُ الْحِفْظِ وَإِمَامُ الدُّنْيَا فِي فِقْهِ الحَدِيثِ (gunung menjulang dalam dhabth-nya, imam seluruh dunia dalam pemahaman hadits). (Taqrib At-Tahdzib hlm 468).
Dengan demikian syarat kedua dan ketiga khabar shahih terpenuhi.
☑️ Tentunya ta’dil yang dilakukan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar berdasarkan ta’dil para pakar Hadits lain sepanjang zaman, karena dapat dikatakan bahwa pengetahuan Ibnu Hajar tentang setiap level generasi perawi lebih banyak dari pada yang ia tidak tahu, sehingga beliau mendapat gelar Al-Hafizh dalam ilmu Hadits. (Lihat makna Al-Hafizh di materi MH-001).
Catatan:
Lawan dari at-ta’dil adalah الجَرْحُ (al-jarh/pernyataan catatan negatif).
📌 Demikian pula, hadits ini tidak syadz dan tidak mu’allal setelah diteliti oleh para ahli hadits dengan memperhatikan sanad maupun matannya termasuk membandingkannya dengan sanad dan matan hadits-hadits lain.
Dengan demikian syarat keempat dan kelima khabar shahih pun terpenuhi.
Posting Komentar untuk "KHABAR ATAU HADITS SHAHIH (MH-003)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.