Prioritas Pemahaman dibanding Sekadar Hafal (FA-004)
📚 (أَوْلَوِيَّةُ الْفَهْمِ عَلَى مُجَرَّدِ الْحِفْظِ)
✅ Pembahasan ini tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa hafalan itu tidak penting, tetapi untuk menegaskan bahwa hafalan semata hanyalah simpanan pengetahuan agar dimanfaatkan setelahnya, dan pemanfaatan itu akan optimal jika disertai pemahaman.
✅ Jadi hafalan itu tidaklah menjadi tujuan yang berhenti di situ, tetapi ia lebih berfungsi sebagai sarana untuk tujuan lain yang lebih penting. Hafalan yang kita inginkan adalah hafalan yang ditindaklanjuti dengan pemahaman mendalam. Bagi orang Arab, mungkin hafalan terhadap suatu matan ilmu tertentu yang berbahasa Arab, lebih mudah untuk dipahami karena bahasa Arab adalah bahasa mereka. Sebaliknya bagi non Arab, menghafal matan harus disertai dengan memahami bahasa Arab agar hafalan matannya tidak sekadar menjadi hafalan.
✅ Kemudian, jika seorang muslim hendak menghafal hendaklah ia memprioritaskan hafalan Al-Qur’an, setelah itu hadits-hadits Rasulullah SAW. Jangan sampai ia disibukkan dengan berbagai matan untuk dihafal dengan mengabaikan Al-Qur’an dan Hadits.
📌 Bahkan Al-Qur’an sendiri memerintahkan agar ia ditadabburi karena tadabbur adalah tujuan utama diturunkan Al-Qur’an:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Rasul) penuh dengan berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya ulul albab mendapat pelajaran. (QS. Shad: 29).
✅ Sedangkan makna tadabbur adalah:
تَأَمُّلُ الْقُرْآنِ بِقَصْدِ الاِتِّعَاظِ وَالاِعْتِبَارِ
Merenungkan Al-Quran dengan maksud mendapat nasihat dan pelajaran.
✅ Jadi tadabbur ini tidak lain adalah pemahaman, baik melalui hati yang tersentuh (dengan nasihat) dan atau akal yang tercerahkan (dengan pelajaran).
📌 Penjelasan dari Hadits
«مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ»
"Perumpamaan hidayah dan ilmu yang Allah mengutusku untuk membawanya adalah seperti hujan lebat yang menyiram bumi (tanah). Dari tanah itu ada yang GEMBUR yang dapat menerima air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantaranya ada tanah yang KERAS (bagian bawahnya), dapat menahan air dan dengannya Allah memberi kemanfaatan kepada manusia lalu mereka minum, menyiram, dan bertani. Air hujan itu juga mengenai kelompok lain yaitu TANAH LICIN (TANDUS), tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Demikian itu perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah dan petunjuk serta ilmu yang aku bawa bermanfaat baginya, ia berilmu dan mengajarkan ilmu itu. Juga perumpamaan orang yang tidak menghiraukan hal itu, dan ia tidak mau menerima petunjuk Allah yang saya diutus dengannya.“ (HR. Al-Imam Al-Bukhari).
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ وَغَيْرُهُ:
ضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا جَاءَ بِهِ مِنَ الدِّينِ مَثَلًا بِالْغَيْثِ الْعَام الَّذِي يَأْتِي النَّاس فِي حَال حَاجَتِهِمْ إِلَيْهِ وَكَذَا كَانَ حَالُ النَّاسِ قَبْلَ مَبْعَثِهِ فَكَمَا أَنَّ الْغَيْثَ يُحْيِي الْبَلَدَ الْمَيِّتَ فَكَذَا عُلُومُ الدِّينِ تُحْيِي الْقَلْبَ الْمَيِّتَ
ثُمَّ شَبَّهَ السَّامِعِينَ لَهُ بِالْأَرْضِ الْمُخْتَلِفَةِ الَّتِي يَنْزِلُ بِهَا الْغَيْثُ
فَمِنْهُمُ الْعَالِمُ الْعَامِلُ الْمُعَلِّمُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْأَرْضِ الطَّيِّبَةِ شَرِبَتْ فَانْتَفَعَتْ فِي نَفْسِهَا وَأَنْبَتَتْ فَنَفَعَتْ غَيْرَهَا
وَمِنْهُمُ الْجَامِعُ لِلْعِلْمِ الْمُسْتَغْرِقِ لِزَمَانِهِ فِيهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ بِنَوَافِلِهِ أَوْ لَمْ يَتَفَقَّهْ فِيمَا جَمَعَ لَكِنَّهُ أَدَّاهُ لِغَيْرِهِ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْأَرْضِ الَّتِي يَسْتَقِرُّ فِيهَا الْمَاءُ فَيَنْتَفِعُ النَّاسُ بِهِ وَهُوَ الْمُشَارُ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْمَعُ الْعِلْمَ فَلَا يَحْفَظُهُ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ وَلَا يَنْقُلُهُ لِغَيْرِهِ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْأَرْضِ السَّبْخَةِ أَوِ الْمَلْسَاءِ الَّتِي لَا تَقْبَلُ الْمَاءَ أَوْ تُفْسِدُهُ على غَيرهَا ...
✅ Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip:
Al-Qurthubi dan yang lainnya berkata:
Nabi Muhammad SAW mengumpamakan agama yang ia bawa dengan hujan merata yang turun saat manusia membutuhkannya. Demikianlah keadaan manusia sebelum beliau diutus. Sebagaimana hujan menghidupkan negeri yang mati, begitu pula berbagai ilmu agama menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau SAW mengumpamakan orang-orang yang mendengar petunjuk seperti berbagai jenis tanah yang menerima air hujan:
1️⃣ Diantara mereka ada yang paham, mengamalkan dan mengajarkan. Ia seperti tanah yang gembur, menyerap air hingga air berguna baginya sekaligus menumbuhkan tetumbuhan yakni memberi manfaat untuk yang lain.
2️⃣ Diantara mereka ada orang yang menghimpun ilmu, menghabiskan waktunya untuk itu, tetapi ia tidak mengamalkan sunnah-sunnahnya (hanya yang wajib), atau maknanya adalah ia tidak memahami apa yang ia kumpulkan (hafalkan) tetapi ia riwayatkan kepada yang lain. Ia seperti tanah yang keras, dapat menyimpan air (meski tidak menumbuhkan tanaman), dan manusia mengambil manfaat dari air yang ditampungnya. Dialah yang diisyaratkan dalam hadits (lain): Allah menerangi wajah seseorang yang mendengar perkataanku lalu meriwayatkannya persis seperti yang ia dengar.
3️⃣ Diantara mereka ada yang mendengar petunjuk, tetapi ia tidak menghafalnya, tidak mengamalkannya (sama sekali) dan tidak pula menyampaikannya kepada orang lain. Ia bagaikan tanah yang tandus tak bisa menampung air, atau malah merusak air sehingga tak dapat dimanfaatkan yang lain...
(Fath Al-Bari, 1/177).
✅ Dari hadits di atas dan penjelasannya, terlihat bahwa orang yang paham, menjaga ilmu, dan mengamalkan lebih baik dari pada yang sekedar hafal tanpa pemahaman, meskipun keduanya memiliki kebaikan dan mendapat pujian dari Rasulullah SAW. Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa amal dan memberi manfaat yang paripurna tak dapat diraih kecuali dengan pemahaman yang dalam.
Posting Komentar untuk "Prioritas Pemahaman dibanding Sekadar Hafal (FA-004)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.