Syariah Islamiyah dan Fiqih (TAT-03)
✅ Sebelum kita membahas sejarah tasyri’ dari masa ke masa, perlu kiranya kita memahami dua istilah yang terkait satu sama lain, yaitu istilah syariah dan istilah fiqih.
📌 Jika disebut istilah syariah islamiyah, maka yang dimaksud adalah wahyu yang diturunkan Allah ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengandung hukum-hukum dari-Nya. Oleh karenanya, syariah itu sempurna tanpa kesalahan sedikitpun.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jatsiyah: 18).
📌 Jika disebut istilah fiqih, maka yang dimaksud adalah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang diketahui melalui pemahaman para ulama terhadap wahyu yang diturunkan Allah. (Lihat definisi fiqih di F-001).
💡 Hukum-hukum fiqih ini ada yang dipahami langsung dari teks wahyu Allah tanpa ijtihad para ulama dalam menyimpulkannya, tetapi langsung dapat diketahui dari redaksinya yang sangat jelas, sehingga ia menjadi ijma’ atau kesepakatan ulama. Hukum fiqih seperti ini adalah bagian dari syariah yang sempurna yang tak mungkin salah, dan biasanya berhubungan dengan prinsip-prinsip ibadah, akhlak dan muamalah, seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, dan Haji sekali seumur hidup, haramnya berdusta, membunuh, mencuri, menipu, riba, zina, homoseksual, khamr, durhaka kepada orang tua, dan yang semisalnya.
💡 Selain itu, hukum fiqih juga ada yang merupakan hasil ijtihad para ulama dalam memahami teks-teks wahyu baik ayat Al-Quran maupun Hadits Rasulullah yang shahih, disebabkan karakter teks tersebut yang memerlukan pemahaman mendalam dari berbagai sisi untuk sampai pada kesimpulan hukumnya. Jika para ulama berbeda pendapat tentang kesimpulan hukumnya, maka kesimpulan hukum yang benar dan tepat adalah hukum fiqih sekaligus termasuk syariah. Sedangkan kesimpulan hukum yang keliru, tentu saja tidak dapat dikatakan sebagai syariat Allah, tetapi ia menjadi bagian dari khazanah fiqih.
✏️Namun perlu diperhatikan beberapa hal tentang “hukum fiqih yang keliru” dalam masalah ijtihadiyah, sekali lagi dalam masalah ijtihadiyah ini, bukan dalam masalah prinsipil yang disepakati oleh para ulama. Diantaranya:
1. Tidaklah mudah - kalau kita tidak mau mengatakan “mustahil” - untuk memastikan bahwa sebuah kesimpulan hukum adalah pasti benar secara mutlak, dan pendapat lain yang juga mu'tabar adalah pasti keliru, juga secara mutlak. Sebab semua imam dan ulama madzhab fiqih yang diakui oleh kaum muslimin telah menggunakan metode yang sah dan telah mengerahkan segala kemampuan mereka untuk melakukan ijtihad, sehingga kesimpulan hukum yang mereka lahirkan masing-masing tidak dapat dianggap remeh.
✅ Oleh karena itu yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang berijtihad atau ulama yang hidup sesudah mereka biasanya hanyalah bersikap bijaksana dengan mengikuti kesimpulan hukum yang mereka yakini lebih dekat kepada kebenaran tanpa menutup peluang kebenaran ada di pihak lain. Salah satu qaidah fiqih menyatakan:
مَسَائِلُ الاِجْتِهَادِ مَظْنُونَةٌ، فَلَا يُقْطَعُ بِبُطْلَانِ مَذْهَبِ الْمُخَالِفِ
Masalah-masalah ijtihad itu bersifat zhanni, oleh karenanya tidak dapat dipastikan secara mutlak kesalahan madzhab lain yang bertentangan. (Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Muhammad Shidqi bin Ahmad, 10/569).
✅ Arti zhanni dalam qaidah di atas adalah kesimpulan yang kemungkinan benarnya sangat besar namun masih membuka peluang keliru.
✅ Namun sekali lagi, ini hanya berlaku dalam masalah ijtihadiyah, bukan di semua masalah. Sebab ada sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam namun berusaha untuk memasukkan teori relatifitas kebenaran dalam masalah prinsip-prinsip Islam yang telah menjadi ijma’ ulama dan konsensus kaum muslimin, baik dalam masalah aqidah maupun fiqih. Tentunya ini adalah kelompok yang menyimpang.
✅ Jadi semua pendapat fiqih yang dilahirkan dari ijtihad para ulama dalam memahami Al-Quran dan Hadits adalah khazanah hukum fiqih yang harus mendapatkan posisi terhormat dari seluruh kaum muslimin, meskipun hanya yang benar saja yang dapat kita katakan sebagai bagian dari syariah islamiyah yang sempurna itu.
2. Perbedaan pendapat para ulama dalam masalah fiqih tidak selalu bersifat kontradiktif, namun ada juga yang bersifat variatif. Artinya semua pendapat tersebut benar, karena semuanya berdasarkan dalil yang shahih dan semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti perbedaan dalam bacaan doa iftitah, atau bacaan ruku’ dan sujud, juga bacaan tasyahud di dalam shalat.
✅ Maka semua pendapat yang bersifat variatif dan tidak kontradiktif seperti hal di atas adalah khazanah fiqih yang tentu saja juga merupakan bagian dari syariat Allah yang sempurna.
والله أعلم بالصواب
Posting Komentar untuk "Syariah Islamiyah dan Fiqih (TAT-03)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.