Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 7)
📚 Ayat Al-Qur’an yang Dita-wil Maknanya dengan Kesepakatan Ulama
📎 Diantara ayat-ayat Al-Qur’an tentang sifat Allah, ada yang disepakati oleh para ulama - baik salaf maupun khalaf - harus dita-wil dari makna lahiriyahnya menurut bahasa, termasuk ulama yang memilih tafwidh.
✅ Bahkan pihak minoritas yang mewajibkan mengambil makna lahiriyah menurut bahasa dan mengharamkan tafwidh makna dan ta-wil, pada ayat ini juga menafikan makna lahiriahnya menurut bahasa, tapi mereka mengambil makna lahiriyah menurut konteks pembicaraan ayatnya, dan menurut mereka itu bukanlah ta-wil.
📎 Ayat yang dimaksud adalah potongan ayat 4 dari Surat al-Hadid:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS. Al-Hadid: 4).
✅ Makna lahiriyahnya menurut bahasa adalah : Allah bersama kamu di mana saja kamu berada dengan معية ذاته (kebersamaan Dzat-Nya), karena secara bahasa مع (ma’a) berfungsi menggabungkan sesuatu dengan yang lain.
✅ Disebutkan oleh al-Fairuz Abadi dalam al-Qamus al-Muhith halaman 764 :
مَعَ: اسمٌ، وقد يُسَكَّنُ ويُنَوَّنُ، أو حَرْفُ خَفْضٍ، أو كلِمةٌ تَضُمُّ الشيءَ إلى الشيءِ، وأصْلُها: مَعاً، أو هي للمُصاحَبَةِ، وتكونُ بمعنَى عندَ
Ma’a : ism, bisa disukun atau ditanwin (‘ain-nya), atau huruf khafadh (jar), atau (ia adalah) kata yang menggabungkan sesuatu dengan yang lain, asalnya : ma’an, atau ia untuk (mengungkapkan) kebersamaan, bisa juga bermakna ‘inda (di sisi).
Tapi tidak ada ulama yang memahami ayat itu dengan makna lahiriyah tersebut, semuanya menafsirkan bahwa maksud dari kebersamaan Allah di ayat itu adalah معية علمية (kebersamaan Ilmu-Nya) atau yang selaras dengannya. Diantara alasan menolak makna lahiriyah atau hakiki adalah tanzih (menyucikan Allah) dari al-hulul (reinkarnasi) dengan makhluk.
📎 Ta-wil Beberapa Ulama tentang Ayat ini
📕 Ibnu Jarir Ath-Thabari
(وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ) يقول: وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم
“Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada”: Dan Dia menjadi saksi bagi kalian wahai manusia di manapun kalian berada, mengetahui kalian, mengetahui amal kalian, mengetahui tempat usaha dan tempat kembali kalian. (Tafsir ath-Thabari, 23/169).
📕 Al-Baghawi
وهو معكم، بالعلم، أين ما كنتم
Dan Dia bersama kalian dengan ilmu (Nya) di manapun kalian berada. (Tafsir al-Baghawi, 5/27).
📕 Ibnu Katsir
رقيب عليكم، شهيد على أعمالكم حيث أنتم، وأين كنتم، من بر أو بحر، في ليل أو نهار، في البيوت أو القفار، الجميع في علمه على السواء
(Dia) Maha Mengawasi kalian, Maha Menyaksikan perbuatan kalian di manapun kalian baik darat atau lautan, siang atau malam, di rumah atau di gurun, semua dalam pengetahuanNya sama. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/9).
📕 Al-Qurthubi
(وَهُوَ مَعَكُمْ) يعني بقدرته وسلطانه وعلمه (القرطبي، 17/237)
“Dan Dia bersama kalian” artinya dengan kekuasaan, kerajaan, dan ilmu-Nya (Tafsir al-Qurthubi, 17/237).
📕 Al-Maturidi
(وَهُوَ مَعَكُمْ): أي: عالم بكم وبأفعالكم، ومحيط بكم، وحافظ عليكم.
“Dan Dia bersama kalian” maksudnya Dia Mahatahu terhadap diri dan perbuatan kalian, meliputi kalian (dengan ilmu-Nya), dan Maha Memelihara kalian. (Ta-wilat Ahli as-Sunnah, al-Maturidi, 9/514).
📕 Ar-Razi
هذه المعية إما بالعلم وإما بالحفظ والحراسة، وعلى التقديرين فقد انعقد الإجماع على أنه سبحانه ليس معنا بالمكان والجهة والحيز، فإذن قوله: وهو معكم لا بد فيه من التأويل وإذا جوزنا التأويل في موضع وجب تجويزه في سائر المواضع.
Maiyyah ini dengan ilmu atau pemeliharaan dan penjagaan. Dengan dua kemungkinan itu maka telah terjadi kesepakatan bahwa Allah ta’ala tidaklah bersama kita (makhluk) di suatu tempat, arah, atau bidang. Jadi pada firmanNya “Dan Dia bersama kalian” wajib dilakukan ta-wil. Dan bila kita membolehkan ta-wil di suatu tempat, maka harus dibolehkan di semua tempat. (Mafatih al-Ghaib, 29/449).
📕 Abu Hayyan al-Andalusi
وهو معكم أين ما كنتم: أي بالعلم والقدرة. قال الثوري: المعنى علمه معكم، وهذه آية أجمعت الأمة على هذا التأويل فيها، وأنها لا تحمل على ظاهرها من المعية بالذات، وهي حجة على من منع التأويل في غيرها مما يجرى مجراها من استحالة الحمل على ظاهرها
“Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” yaitu dengan ilmu dan kekuasaan (Nya). Berkata ats-Tsauri: Maknanya ilmu-Nya bersama kalian. Dan telah terjadi kesepakatan ummat (Islam) dalam melakukan ta-wil terhadap ayat ini, bahwa ia tidak dibawa kepada lahiriyahnya berupa kebersamaan dengan Dzat, dan ia adalah hujjah (argumentasi) dalam menghadapi orang yang melarang ta-wil terhadap ayat lain yang sejalan dengannya bahwa membawanya kepada makna lahiriyah adalah mustahil. (al-Bahr al-Muhith, Abu Hayyan, 10/101).
📎 Penjelasan Ulama yang Menolak Ta-wil
📕 Ibnu Taimiyah
فافتتح الكلام بالعلم وختمه بالعلم؛ ولهذا قال ابن عباس والضحاك وسفيان الثوري وأحمد بن حنبل: هو معهم بعلمه
Dia membuka firman (Nya) dengan ilmu dan menutupnya dengan ilmu; oleh karenanya Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahhak, Sufyan ats-Tsauri dan Ahmad bin Hambal berkata: Dia bersama kalian dengan ilmu-Nya. (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 11/249).
📕 Fatwa Ulama al-Lajnah ad-Da-imah
قوله تعالى: (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ) معناه عند أهل السنة والجماعة : أنه معهم بعلمه واطلاعه على أحوالهم
FirmanNya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” maknanya menurut Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah bahwa Dia bersama mereka dengan ilmuNya dan pantauanNya atas keadaan mereka. (Fatawa al-Lajnah ad-Da-imah, 3/218).
📕 Abdurrahman As-Sa’di
وهذه المعية معية العلم والاطلاع
Dan kebersamaan ini adalah kebersamaan ilmu dan pantauan (Allah). (Tafsir as-Sa’di, hlm 837).
📕 Ibnu ‘Utsaimin
لا ريب أن السلف فسروا معية الله تعالى لخلقه في الآيتين بالعلم، وحكى بعض أهل العلم إجماع السلف عليه، وهم بذلك لم يؤولوها تأويل أهل التعطيل، ولم يصرفوا الكلام عن ظاهره، وذلك من وجوه ثلاثة:
الأول: أن الله تعالى ذكرها [يعني : المعية] في سورة المجادلة بين عِلْمين ، فقال في أول الآية: (أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ) ، وقال في آخرها: (إنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ) ؛ فدل ذلك على أن المراد أنه يعلمهم ولا يخفى عليه شيء من أحوالهم.
الثاني: أن الله تعالى ذكرها في سورة الحديد مقرونة باستوائه على عرشه الذي هو أعلى المخلوقات، فقال: (هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ) إلى قوله: (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ) ؛ فدل على أن المراد معية الإحاطة بهم ، علما وبصرا، لا أنه معهم بذاته في كل مكان، وإلا لكان أول الآية وآخرها متناقضا.
الثالث: أن العلم من لوازم المعية، ولازم اللفظ من معناه ، فإن دلالة اللفظ على معناه من وجوه ثلاثة: دلالة مطابقة، ودلالة تضمن، ودلالة التزام ، ولهذا يمكن أن نقول: هو سبحانه معنا بالعلم، والسمع، والبصر، والتدبير والسلطان وغير ذلك من معاني ربوبيته ، كما قال تعالى لموسى وهارون: (إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى) ، وقال هنا في سورة الحديد: (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ) .
فإذا كان العلم من لوازم المعية : صح أن نفسرها به ، وبغيره من اللوازم التي لا تنافي ما ثبت لله تعالى من صفات الكمال، ولا يعد ذلك خروجا بالكلام عن ظاهره.
Tak ada keraguan bahwa salaf menafsirkan “Allah ta’ala bersama makhlukNya” di dua ayat (57/4 & 58/7) dengan (kebersamaan) ilmu. Sebagian ulama meriwayatkan kesepakatan salaf atasnya. Salaf dalam hal ini tidak menta-wilnya seperti ta-wil para pelaku ta’thil (yang mendisfungsikan sifat Allah), dan mereka tidaklah memalingkan pembicaraan dari zhahirnya (makna lahiriyahnya).
Penjelasannya dari 3 sisi :
Pertama, bahwa Allah ta’ala menyebutkan ma’iyyah di surat al-Mujadilah antara dua pembicaraan tentang ilmu, Dia berfirman di awal ayat (yang artinya): Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Dan Dia berfirman di akhirnya (yang artinya): Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Maka itu menunjukkan bahwa maksudnya adalah Dia mengetahui mereka dan tak ada keadaan mereka yang tersembunyi bagiNya.
Kedua, bahwa Allah ta’ala menyebutkan mai’yyah di surat al-Hadid disandingkan dengan istiwa-Nya ‘ala ‘arsyihi, dan arsy adalah makhluk paling tinggi, Dia berfirman (yang artinya): Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa ‘ala al-'Arsy, sampai pada firmanNya (yang artinya): Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, yang menunjukkan bahwa maksud dari maiyyah adalah pemantauan penuh atas mereka dengan ilmu dan penglihatan. Bukan berarti Dia bersama mereka di setiap tempat, karena kalau demikian berarti awal dan akhir ayat saling bertentangan.
Ketiga, bahwa ilmu termasuk konsekuensi ma’iyyah, dan konsekuensi lafal kata termasuk arti dari kata tersebut. Karena penunjukkaan lafal kata kepada artinya terbagi tiga : muthabaqah (sesuai 100%), tadhammun (bagian darinya, tapi ada arti yang lain) dan iltizam (konsekuensi darinya, bukan arti langsung). Oleh karenanya memungkinkan bagi kita untuk mengatakan “Dia subhanahu wata’ala bersama kita dengan ilmu, pendengaran, penglihatan, pengaturan, kerajaan/kekuasaan dan makna rububiyahNya yang lain. Seperti firmanNya kepada Musa dan Harun (yang artinya): Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan Aku melihat. Dan di surat al-Hadid ini Dia berfirman (yang artinya): Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Jika ilmu termasuk konsekuensi ma’iyyah maka menjadi sah kita menafsirkan ayat dengannya, atau dengan konsekuensi lafal kata yang lain yang tidak bertentangan dengan sifat kesempurnaan yang telah ditetapkan untuk Allah, dan hal itu tidak dapat dianggap sikap keluar dari zhahir pembicaraan.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa-il al-‘Utsaimin, 1/247-250).
✅ Kalau kita perhatikan, semua atau hampir semua ta-wil yang dilakukan oleh ulama sebetulnya tidak keluar dari salah satu diantara dalalah muthabaqah, tadhammun atau iltizam yang disebutkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, juga tidak keluar dari pemahaman terhadap zhahir konteks pembicaraan pada ayat yang mereka ta-wil, juga seperti yang beliau sebutkan, tanpa menafikan adanya ta-wil yang jauh atau berlebihan sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqalani tentang peta perbedaan pendapat ulama terkait hadits nuzul (lihat postingan sebelum ini).
✅ Sebagai contoh saja, perhatikan penjelasan Ibnu Katsir terhadap ayat yang menyebutkan ungkapan orang Yahudi “يد الله مغلولة (tangan Allah terbelenggu)” dan bantahan Allah dengan ungkapan “بل يداه مبسوطتان ((Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka)” di surat al-Maidah ayat 64:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
Orang-orang Yahudi berkata: "tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.
✅ Ibnu Katsir menafsirkan dengan mengutip riwayat dari sahabat ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas RA dan salaf shalih:
يخبر تعالى عن اليهود -عليهم لعائن الله المتتابعة إلى يوم القيامة-بأنهم وصفوا الله، عز وجل وتعالى عن قولهم علوا كبيرا، بأنه بخيل. كما وصفوه بأنه فقير وهم أغنياء، وعبروا عن البخل بقولهم: {يد الله مغلولة} ..
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله: {وقالت اليهود يد الله مغلولة} قال: لا يعنون بذلك أن يد الله موثقة ولكن يقولون: بخيل أمسك ما عنده، تعالى الله عما يقولون علوا كبيرا.
وكذا روي عن عكرمة، وقتادة، والسدي، ومجاهد، والضحاك وقرأ: {ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا} [الإسراء:29] . يعني: أنه ينهى عن البخل وعن التبذير، وهو الزيادة في الإنفاق في غير محله، وعبر عن البخل بقوله: {ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك} ...
ثم قال تعالى: {بل يداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء} أي: بل هو الواسع الفضل، الجزيل العطاء، الذي ما من شيء إلا عنده خزائنه، وهو الذي ما بخلقه من نعمة فمنه وحده لا شريك له، الذي خلق لنا كل شيء مما نحتاج إليه، في ليلنا ونهارنا، وحضرنا وسفرنا، وفي جميع أحوالنا
Allah mengabarkan tentang Yahudi – semoga laknat Allah terus kepada mereka hingga hari kiamat – bahwa mereka memberi sifat kepada Allah (Mahatinggi dan Mahasuci Dia setinggi-tingginya dari ucapan mereka) bahwa Dia pelit, sebagaimana mereka juga memberi sifat kepadaNya bahwa Dia fakir dan mereka kaya, dan mereka mengungkapkan sifat bakhil dengan “tangan Allah terbelenggu.” ..
Dan telah berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas (tentang) firmanNya (yang artinya): Orang-orang Yahudi berkata: "tangan Allah terbelenggu" bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: Dengan ungkapan itu, mereka tidak bermaksud menyatakan bahwa tangan Allah terikat, tetapi mereka hendak mengatakan “pelit, Dia menahan apa yang ada di sisiNya”, Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari apa yang mereka ucapkan.
Begitu pula diriwayatkan dari ‘Ikrimah, Qatadah, as-Suddi, Mujahid, adh-Dhahhak, dan dia (Ibnu ‘Abbas) membaca ayat (yang artinya): Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra: 29). Maksudnya adalah Dia melarang pelit dan boros yaitu berlebihan dalam membelanjakan harta bukan pada tempatnya, dan Dia mengungkapkan tentang pelit dengan “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu”…
Kemudian Allah ta’ala berfirman (yang artinya): (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Maksudnya: Bahkan Dialah yang Maha Luas karuniaNya, Mahabesar pemberianNya, tidak ada apapun kecuali pasti gudangnya ada di sisiNya, Dialah Dzat yang hanya dariNya saja semua ni’mat yang dirasakan makhluk, tak ada sekutu bagiNya, yang telah menciptakan segala sesuatu untuk kita, semua keperluan kita siang malam, saat mukim maupun musafir, dan di setiap keadaan kita.
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/145-146).
✅ Perhatikan bagaimana Abdullah bin ‘Abbas RA menggunakan dalalah tadhammun yang lebih kuat dari dalalah iltizam bahwa anugrah dan pemberian adalah bagian dari makna “tangan” menurut bahasa di dalam memahami ayat tersebut.
✅ Sehingga “kedua tanganNya terbuka” maknanya adalah memberi anugrah tak terbatas.
✅ Juga bagaimana beliau memahami maksud “tangan Allah terbuka” dengan makna zhahir menurut konteks kalimat pada ayat, yaitu dengan melihat awal dan akhirnya bahwa awalnya ungkapan Yahudi “tangan Allah terbelenggu” yang maksudnya kiasan bahwa Allah pelit – Mahasuci Allah darinya, dan akhirnya adalah “Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki” sehingga "tangan terbuka" ditafsirkan sebagai nikmat dan karuniaNya yang luas.
✅ Hal ini persis seperti Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan awal dan ayat tentang ma’iyyah ilmiyyah.
📎 Jika hal tersebut sudah kita pahami dengan baik, yang tersisa hanyalah dua hal:
1. Apakah beralih dari makna zhahir sebuah kata menurut kamus sebelum dia masuk ke dalam kalimat kepada makna zhahir menurut konteks kalimat dinamakan ta-wil atau tidak?
✅ Jika kedua pihak yang berbeda pendapat telah menerapkannya minimal pada sebuah ayat, maka perbedaan penamaan atau penggunaan istilah tidaklah menjadi penting, karena keduanya telah bersepakat pada esensi.
2. Ketika sebuah ayat dipahami dengan makna zhahir menurut konteks kalimat, apakah di saat yang sama boleh juga dipahami dengan makna zhahir menurut kamus bahasa sebelum masuk ke dalam kalimat, sehingga kita dapat menggabungkan keduanya sekaligus?
✅ Pada ayat tentang ma’iyyah (57/4 dan 58/7) semua sepakat bahwa keduanya tidak dapat digabungkan, bahwa makna zhahir yang diambil hanya satu yaitu zhahir menurut konteks kalimatnya.
✅ Tetapi untuk ayat tentang “tangan” hal ini jelas menjadi perbedaan pendapat antara mereka yang melakukan tafwidh, dengan yang melakukan ta-wil, apalagi dengan yang melarang tafwidh dan ta-wil.
✅ Perbedaan antara yang tafwidh dengan yang ta-wil relatif ringan, oleh karena itu mereka relatif bisa bertoleransi.
✅ Mayoritas ulama tidak memperbolehkan penggabungan makna hakiki dengan majazi.
📌 Jika berpedoman pada pendapat ini, ada empat pilihan yang tersedia :
1. Ada yang memilih tafwidh makna saja karena tidak mau terlibat ta-wil, sementara makna hakikinya diserahkan kepada Allah. Ini lebih aman menurut al-Baihaqi seperti dikutip oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani (Fath al-Bari, 3/30).
2. Atau ta-wil saja karena memilih makna majazi. Ini pilihan sebagian ulama ilmu Kalam.
3. Tafwidh pada sebagian besar ayat/hadits sifat dan ta-wil pada ayat/hadits sifat yang lain. Ini juga diriwayatkan dari salaf sebagaimana keterangan Ibnu Hajar al-'Asqalani.
4. Menolak tafwidh dan ta-wil sekaligus dan otomatis memilih makna zhahir atau hakiki menurut bahasa sebelum masuk ke dalam kalimat. Ini pendapat minoritas.
✅ Posisi menolak penggabungan makna hakiki dengan majazi atau makna zhahir kata menurut bahasa dengan zhahir sesuai konteks kalimat dan menolak tafwidh dan ta-wil sekaligus ini lebih rumit, karena dengan hanya memilih makna zhahir kata menurut kamus bahasa membuat mereka harus menolak penafsiran seperti tafsir Ibnu Katsir di atas jika ingin konsisten. Di samping itu, pilihan ini bertentangan dengan pilihan ulama salaf seperti yang diungkapkan oleh Abu Hayyan di atas atau al-Qurthubi, asy-Syathibi, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan lain-lain sebagaimana telah dijelakan pada postingan sebelumnya. Hal kedua ini mungkin tidak ada masalah bagi mereka, karena mereka tidak perlu menghiraukan penjelasan dari ulama yang tidak sepaham dengan mereka atau mereka bisa menafsirkan ungkapan para ulama tersebut dengan penafsiran versi mereka.
✅ Juga konsistensi tafsir mereka pun terganggu, karena minimal pada ayat mai’yyah ilmiyyah (57/4. 58/7) sebagian mereka menafsirkannya dengan zhahir konteks kalimat persis seperti model tafsir Ibnu Katsir pada ayat tentang “tangan” di atas, hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Yang lebih konsisten adalah jika mereka mengatakan tentang ayat mai'yyah : "Dia bersama kalian dengan kebersamaan yang sesuai kelaikanNya atau keagunganNya", sebagaimana mereka mengatakan tentang hadits nuzul: "Allah turun ke langit dunia, dengan turun yang sesuai kelaikanNya atau keagunganNya."
Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 7)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.