Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 9)
📚 Cara Al-Quran dan Hadits Menyampaikan Sifat Khabariyah
🅰️ Tidak Menggabungkan yang Terpisah
✅ Bukanlah sikap yang tepat dan bijaksana (kalau tidak mau mengatakan salah) mengumpulkan semua sifat khabariyah ini dalam satu kalimat atau paragraf. Apalagi tanpa menampilkan ayat atau haditsnya dan tanpa menjelaskan konteks kalimatnya, seperti ini:
Dia yang Mahasuci memiliki tangan, telapak tangan, jari-jemari, kaki, betis, … dst.
✅ Karena sesungguhnya masing-masing sifat-sifat khabariyah ini, baik di dalam ayat maupun hadits shahih, disampaikan oleh Rasulullah ﷺ dalam berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda serta berjauhan, sepanjang hayat beliau, dengan qarinah (indikator makna) yang berbeda-beda pula. Dengan berbagai qarinah ini, para pendengar memahami maksudnya dengan benar.
✅ Sifat-sifat khabariyah ini jika dikumpulkan sekaligus dalam satu kalimat, apalagi tanpa penjelasan konteks penyebutannya dalam ayat atau haditsnya, justru melahirkan qarinah tersendiri yang mengilhami tasybih (penyerupaan dengan makhluk) dan tajsim (penggambaran bentuk tubuh). Dan bila gaya seperti ini diulang-ulang, maka maksud yang benar yang sesuai dengan konteks kalimatnya justru dilupakan atau terlupakan. Dan bila banyak tokoh ummat yang menyampaikannya secara lisan maupun tulisan, kekeliruan makna yang ditimbulkannya menjadi meluas kemudian dianggap benar pada akhirnya.
✅ Ketika ada yang terbayang di benaknya tasybih atau tajsim sebagai akibatnya, lalu ada yang mengatakan “Salahnya sendiri !! Kenapa ngebayangin kayak gitu?? Kan ini Quran Hadits yang bilang begitu..!!” Katakan padanya: “Apakah Al-Quran dan Hadits menyajikannya dengan mengumpulkannya seperti itu??”
🅱️ Tidak Memisahkan yang Tergabung
✅ Maksudnya tidak memisahkan sifat khabariyah dari kata atau potongan kalimat sebelumnya dan sesudahnya.
✅✅ Atau tidak memisahkan penjelasan sifat khabariyah itu dari ayat atau hadits lain yang semakna, atau yang menggunakan ungkapan yang sama.
📎 Al-Ghazali mencontohkan :
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Dan Dialah al-Qahir (yang berkuasa) fauqa (atas) hamba-hamba-Nya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 18).
✅ Jangan sampai ada yang memisahkan ungkapan “فوق عباده / fauqa ‘ibadih” yang artinya di atas hamba-hambaNya dari kata “القاهر al-qahir” yang artinya Maha Berkuasa penuh dan mutlak. Lalu menyimpulkan dari ayat ini saja bahwa Allah berada di arah atas.
✅ Karena kata Maha Berkuasa menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan fauqiyyah pada ayat ini adalah fauqiyyah ar-rutbah (kemahatinggian tingkatan).
✅ Juga tidak boleh mengganti tafsir “فوق عباده di atas para hamba-Nya” dengan tafsir “فوق غيره di atas selain-Nya”, karena penyebutan ubudiyah atau penghambaan menunjukkan juga makna "فوقية السيادة" fauqiyyah as-siyadah (kemahatinggian kepemimpinan/sebagai sayyid (majikan/tuan atas budaknya)).
Demikian ringkasan penjelasan al-Ghazali.
✅ Selain itu, ditinjau dari sisi i’rab (posisi kata dalam kalimat menurut ilmu Nahwu), yang menjadi khabar dari mubtada “هو” adalah “القاهر”. Artinya kabar atau informasi utama yang disampaikan oleh ayat ini adalah sifat al-qahr (kekuasaan penuh dan mutlak) itu sendiri, sementara kata “فوق” merupakan zharaf yang muta’lliq (berkaitan erat) dengan khabar “القاهر”. Sehingga kata فوق tidak bisa berdiri sendiri dalam ayat tersebut.
✅ Ini sekali lagi menunjukkan fauqiyah al-qahr (kemahatinggian kekuasaan) bukan fauqiyah al-jihah (kemahatinggian arah).
✅ Jadi kesimpulan fauqiyyah al-jihah (ketinggian arah atas) tidak dapat diambil dari ayat ini, tapi memerlukan dalil lain, tentu saja jika kita mengabaikan pendapat yang menyatakan kemustahilan jihah (arah) bagi Allah.
✅ Dari sisi tinjauan ayat lain yang semakna atau yang menggunakan ungkapan yang sama pun kesimpulannya akan sama, menunjukkan bahwa ayat Al-Qur’an satu dengan yang lain saling menjelaskan.
✅ Ayat yang dimaksud adalah :
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir'aun (kepada Fir'aun) : "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?" Fir'aun menjawab: "Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka". (QS. al-A'raf: 127).
✅ Perhatikan ungkapan di akhir ayat yang menyebutkan perkataan Fir’aun yang penuh kesombongan :
وإنا فوقهم قاهرون
“dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka".
✅ Tidak ada satu ulama tafsir pun yang memaknainya dengan fauqiyyah al-jihah (ketinggian arah) : bahwa Firaun berada di tempat yang lebih tinggi di atas Bani Israil.
✅ Akhir ayat ini amat mirip dengan awal ayat 18 surat al-An'am di atas. Keduanya sama-sama menunjukkan ketinggian kekuasaan. Bahkan pada ayat ini kata “فوق” didahulukan dari kata “قاهرون” artinya untuk dipahami “arah atas” lebih mungkin, meskipun demikian tidak ada yang memahaminya seperti itu. Begitu pula pada ayat ini kata قاهرون tidak menggunakan “ال” sementara pada al-An'am: 18 “القاهر” menggunakan “ال”. Semua itu menunjukkan bahwa al-An'am: 18 lebih kuat indikasi makna فوقية القهر atau فوقية السيادة sebagai makna yang zhahir sesuai konteks kalimat, dari pada al-A'raf: 127.
✅ Dengan kata lain, bila dari al-A'raf: 127 tidak dapat diambil kesimpulan fauqiyyah al-jihah (ketinggian arah), maka begitu pula dari al-An'am ayat 18. Keduanya satu makna karena redaksi keduanya hampir sama.
✅ Inilah salah satu penerapan dari prinsip tidak memisahkan yang tergabung, yaitu tidak memisahkan dua dalil yang serupa atau berhubungan, tetapi menggabungkan keduanya untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat.
Referensi :
📌 Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilmi al-Kalam, Al-Ghazali, hlm 60-61.
📌 al-I'rab al-Mufashshal li Kitabillah al-Murattal, Bahjat 'Abdul Wahid Shalih, 3/190.
Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 9)"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.